PEMBAHASAN
v SYIRKAH
A.
Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau
perkongsian berarti:
الإختلاط
أى خلط أحد المالين بالآخر بحيث لايمتزان عن بعضهما
"percampuran, yakni bercampunya salah satu dari dua
harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya”
Syirkah adalah
akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan
kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama
1. menurut Hanafiah
الشركة
هي عبارة عن عقد بين المتشاركين في رئس المال والربح
Syirkah adalah suatu
ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang berserikat didalam
modal dan keuntungan.
2. Menurut Malikiyah
هي اذن
فى التصرف لهما معا انفسهما اى أن يأذن كل واحد من الشريكين لصاحبه فى ان يتصرف فى
مال لهما مع إبقاء حق التصرف لكل منهما
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf)
harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya
saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya,
namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
3. menurut
syafi’iyah
وفي
الشرع: عبارة عن ثبوت الحق في الشيئ الواحد لشخصين فصاعدا على جهة الشيوع
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas
suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama
4. menurut
Hanabilah
الشركة
هي الإجتماع في استحقاق أو تصرف
Syirkah adalah
berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para
ulama mengenai pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud
dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih
dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut
berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang
keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di
laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya
keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset
yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyârakah adalah
semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara
bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud. Melalui akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan
tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari bank.
Selain digunakan untuk pembiyayan modal kerja, secara umum pembiyayaan
musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi dan pembiyayaan proyek,
bagi bank, pembiyayaan musyârakah dan memberi manfaat berupa
keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.
B.
Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan
berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin.
Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Al-Qur’an
وَإِنَّ
كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ. ﴿٢٤﴾
Firman Allah
Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah
mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan
firman-Nya pula:
فَإِن
كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ ﴿١٢﴾
“Maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya
perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12
perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad
ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2. Hadits
عن أبى
هريرة رفعه الى النبي ص.م .قال: ان الله عزوجل يقول: أنا ثالث الشريكين مالم يخن
أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman:
“Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak
mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar
dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
3. Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan legitimasi syarikah secara
global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya. Maka
secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkahdalam usaha
diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
Ibnu Qudamah
dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin telah
berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat
perbedaan dalam beberapa elemen darinya.
C.
Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah
itu berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama
Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan
melakukan penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan),
istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang
menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua
orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun
tetapi termasuk syarat.
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi
menjadi empat bagian, sebagai berikut.
1. Sesuatu
yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a)
berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai
perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan
harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2. Semua
yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua
perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah
dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah, dan b)
benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya
sama maupun berbeda.
3. Sesuatu
yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a) modal (harta
pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan c)
orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada
semua macam jual beli atau perdagangan.
4. Adapun
syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah
mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan
akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat
bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan,
sedangkan syirkah yang lainnya batal. Akad syirkah ada
kalanya hukumnyashahih ataupun fasid. Syirkah
fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat
yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi makasyirkah dinyatakan shahih.
D.
Macam-Macam Syirkah
1. Syirkah
Amlâk (Hak Milik)
Yaitu perserikatan dua orang atau
lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang
lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak
tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya
tanpa seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah
amlâk adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang
tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau jabari.
Syirkah milk juga dibagi
menjadi menjadi dua yaitu:
a. Syirkah
milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu
benda secara paksa
b. Syirkah
milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk
menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara
mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang
ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta
karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan satu aset
oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau
lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang dihasilkan
aset tersebut.
Misalnya: Si
A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan
keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya
dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil
tersebut.
2. Syirkah
Uqûd (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua
orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, artinya kerjasama ini
didahului oleh transaksi dalam penanaman modal dan kesepakatan pembagian
keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti
inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti
ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan
kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang,
jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang
dipergunakan adalah milik rekannya.
·
Macam-Macam
Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu
terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah,
yaitu:
a. syirkah
al-‘inân
Yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau
lebih yang tidak selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih
besar dari pihak yang lain.
Sementara itu, Ibn Qudamah sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Abdurrahman Sadique menyebutkan bahwa syirkah
al-‘inân adalah kerjasama dua orang atau lebih dalam hal modal yang
dilaksanakan oleh mereka yang berserikat dalam hal modal tersebut sementara
hasilnya dibagi bersama.
Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang telah
disepakati maupun kerugiannya. Sesuai dengan kaidah:
الربح على ما شرطا والوضيعة على قدر
ما لين
Artinya: “keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan
kerugian ditanggung sesuai dengan modal masing-masing”.
Dan hukum syirkah ini diperbolehkan
berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.
Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin
atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan memproduksi dan
menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi modal
sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalamsyirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd);
sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh
dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya
pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan
porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing
menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu
‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam
kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah
berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan
didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”
b. syirkah
al-abdân
Yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya
dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan, tanpa konstribusi modal (mâl),
seperti kerja sama sesama dokter di klinik, tukang besi, kuli angkut atau
sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang
penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah dan sebagainya.
Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan,
bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika
memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A
mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdân hukumnya
boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan
Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad
membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.”
(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
c. syirkah
al-mudârabah
Yaitu, persetujuan seseorang sebagai pemilik modal
(investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudhârib)
dalam suatu perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut jumhur ulama (Hanafiyah, malikiyah, Syafi’iah,
Zahiriyah, dan Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai
salah satu bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut mereka merupaka akad
tersendiri dalam bentuk kerja sama yang lain yang tidak dinamakan dengan
perserikatan.
Syarat-syarat mudârabah antara lain:
1. modal harus
dinyatakan dengan jelas mengenai jumlahnya
2. modal harus
diserahkan kepada mudârib untuk memungkinkannya melakukan
usaha
3. modal harus
dalam bentuk tunai bukan utang
4. pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan yang mungkin
dihasilkan nanti
5. kesepakatan
ratio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak
6. pembagian
keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudâribmengembalikan
seluruh atau sebagian modal kepada shahib a-mâl
d. syirkah
al-wujûh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang
memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa
modal. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan
menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi
bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.
Syirkah semacam ini juga dibolehkan
menurut kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan
Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Disebut syirkah wujûh karena
didasarkan pada reputasi (wajâhah) kepercayaan (amânah),
kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang
pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli
barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya
pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang
dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat,
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual
barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujûh ini,
keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra
usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan.
e. syirkah
al-mufâwadhah.
Yaitu kerja sama antara dua orang
atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan
berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara
sama.
Syirkah
Mufâwadhah juga merupakan syirkah komprehensif
yang dalam syirkah itu semua anggota sepakat melakukan aliansi
dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘înan, abdân dan wujûh.
Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan
segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli,
penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya.
Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam segala
hal. Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan
yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga
masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang
yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang
yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama
dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana
(modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang dibagi oleh
masing-masing pihak, dan agama
Hukum Syirkah ini
dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah
ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.
Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya karena sulit untuk menetapkan prinsip persamaan
modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan ini.
Adapun keuntungan yang diperoleh
dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu
ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah‘inân),
atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau
ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal
kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa
masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk
berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdân,
yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan
memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan
C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di
sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C
sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping
konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah‘inân di antara B
dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara
B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah
mufâwadhah.
E. Hal –Hal Yang
Membatalkan Syirkah
1. sebab-sebab
yang membatalkan syirkah secara umum
a. pembatalan
oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad syirkah merupakan
akad yang jâiz dan ghair lâzim, sehingga
memungkinkan untuk di-fasakh.
b. meninggalnya
salah seorang anggota serikat.
c. murtadnya
salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke darul harb.
Hal ini disamakan dengan kematian.
d. gilanya
peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status wakil dari wakâlah,
sedangkan syirkah mengandung unsurwakâlah.
2. Sebab
yang membatalkan syirkah secara khusus
a. Rusaknya
harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota
serikat sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
b. Tidak
terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhahketika akad
akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan
akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.
v MUDHARABAH
A. Pengertian
Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana
pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola
(mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama
dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari
pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam
manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati
dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan
penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk
mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
B. Jenis-Jenis
Mudharabah
Secara umum
mudharabah terbagi kepada dua jenis yaitu :
·
Mudharabah
Muthalaqah (Mudharabah bebas).
Pengertiannya
adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal)
menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan
waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan
kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat
mewujudkan kemaslahatan
·
Mudharabah
Muqayyadah (Mudharabah terbatas).
Pengertiannya
pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan
jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan
Mudharib.
Dua mudharaba Ini biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan
dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al mudharabah diterapkan pada :
a) Tabungan
berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus,seperti tabungan
haji,tabungan qurban,dan sebagainya.
b) Deposito
biasa
c) Deposito
Spesial (Special Investment),dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk
bisnis tertentu,misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Sedangkan pada sisi pembiayaan, mudharabah ditetapkan untuk :
a) Pembiayaan
modal kerja,seperti modal kerja perdagangan dan jasa
b) Investasi
khusus; disebut juga mudharabah muqayyadah,dimana sumber dana khusus dengan
penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul
maal.
C. Landasan
Syari’ah Mudharabah.
Pada
dasarnya landasan dasar syari’ah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha. Landasannya tersebut terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
·
Al-Qur’an
…اللَّهِ فَضْلِ مِنْ يَبْتَغُونَ الأرْضِ فِي يَضْرِبُونَ وَآخَرُونَ…
“… dan
dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT
…” (al-Muzzammil: 20)
Menjadi argumen dan dasar dilakukannya akad mudharabah dalam ayat ini
adalah kata „yadhribun‟ yang sama dengan akar kata mudharabah yang memiliki
makna melakukan suatu perjalanan usaha.
Ayat-ayat yang senada masih banyak yang terdapat dalam al-Qur’an yang dipandang
oleh para fuqoha sebagai basis dari yang diperbolehkannya mudharabah. Kandungan
ayat-ayat di atas mencakup usaha mudharabah karena mudharabah dilaksanakan
dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari
keutamaan Allah.
·
Al-Hadits
Sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah
melakukan Mudharabah dengan Khadijah, dengan modal dari Khadijah. Beliau pergi
ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan.
قَالَ رَسُوُّلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلىَ اَجَلٍ وَاْلمقَارَضَةُ وَاَخْلاَطُ الْبُرِّ بِاالشَّعِيْرِلِلْبَيْتِ لاَلِلْبَيْعِ
Rasulullah
saw bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual beli
secara tangguh, muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum putih dengan
gandum merah untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.”
·
Ijma
Ibnu Syihab pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari
kakeknya: “Bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan harta anak yatim dengan
cara Mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut lalu dia
mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh Al-Fadhal.
”Ibnu Qadamah dalam kitab Al-Mughni dari malik bin Ila’ bin Abdurrahman dari
bapaknya: “Bahwa Utsman telah melakukan qirad (Mudharabah)”. Semua riwayat tadi
didengarkan dan dilihat oleh sahabat sementara tidak ada satu orang pun
mengingkari dan menolaknya, maka hal itu merupakan ijma’ mereka tentang
kemubahan Mudharabah ini.
D. Syarat
dan Rukun Mudharabah
1. Syarat
Mudharabah
a.Syarat Sah
Syarat yang ini menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta
memiliki maslahat untuk akad tersebut.
Contohnya
pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut
keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus
di negeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan.
Maka
syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi,
karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad
perjanjian mudharabah.
b.Syarat
Fasad (tidak benar).
Syarat ini
terbagi tiga:
1. Syarat
meniadakan tuntuntan konsekuensi akad
Seperti
mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak
menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati
ketidakbenarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu
mencari keuntungan.
2. Syarat
yang bukan dari kemaslahatan
Juga bukan
tuntutan akad, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan
mudharabah kepadanya daru harta lainnya.
3. Syarat
yang berakibat tidak jelasnya keuntungan
Misalnya,
mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau
mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini
untuk pemilik modal dan yang satunya sebagai keuntungan.
Syarat ini
disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari
salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga
akadnya batal.
2. Rukun
Mudharabah
Menurut madzhab Hanafiyah, rukun Mudharabah adalah ucapan tanda penyerahan
dari pihak yang menyerahkan dalam suatu perjanjian (ijab) dan ucapan tanda
setuju (terima) dari pihak yang menerima dalam suatu akad perjanjian atau
kontrak (qabul), jika pemilik modal dengan pengelola modal telah melafalkan
ijab qabul, maka akad itu telah memenuhi rukunnya dan sah. Sedangkan menurut
jumhur ulama’ ada tiga rukun dari Mudharabah yaitu:
1. Dua pihak
yang berakad (pemilik modal/shahib al-mal dan pengelola
dana/pengusaha/mudharib); Keduanya hendaklah orang berakal dan sudah baligh
(berumur 15 tahun) dan bukan orang yang dipaksa. Keduanya juga harus memiliki
kemampuan untuk diwakili dan mewakili.
2. Materi
yang diperjanjikan atau objek yang diakadkan terdiri dari atas modal (mal),
usaha (berdagang dan lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan
tersebut), keuntungan;
3. Sighat,
yakni serah/ungkapan penyerahan modal dari pemilik modal (ijab) dan
terima/ungkapan menerima modal dan persetujuan mengelola modal dari pemilik
modal (qabul).
E. Berakhirnya
Usaha Mudharabah
Mudharabah
menjadi batal karena hal-hal berikut:
1. Tidak
terpenuhinya syarat sahnya Mudharabah. Apabila terdapat satu syarat yang tidak dipenuhi,
sedangkan mudharib sudah terlanjur menggunakan modal Mudharabah untuk bisnis
perdagangan, maka dalam keadaan seperti ini mudharib berhak mendapatkan upah
atas kerja yang dilakukannya, karena usaha yang dilakukannya atas izin pemilik
modal dan mudharib melakukan suatu pekerjaan yang berhak untuk diberi
upah.
Semua laba
yang dihasilkan dari usaha yang telah dikerjakan adalah hak pemilik modal. Jika
terjadi kerugian maka pemilik modal juga yang menanggungnya. Karena mudharib
dalam hal ini berkedudukan sebagai buruh dan tidak dapat dibebani kerugian
kecuali karena kecerobohannya.
2. Pengelola
atau mudharib sengaja tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam
memelihara modal, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
Jika seperti itu dan terjadi kerugian maka, pengelola berkewajiban untuk
menjamin modal karena penyebab dari kerugian tersebut.
3. Pengelola
meninggal dunia atau pemilik modalnya, maka Mudharabah akan menjadi
batal.
Jika pemilik modal yang wafat, pihak pengelola berkewajiban mengembalikan
modal kepada ahli waris pemilik modal serta keuntungan yang diperoleh diberikan
kepada ahli warisnya sebesar kadar prosentase yang disepakati. Tapi jika yang
wafat itu pengelola usaha, pemilik modal dapat menuntut kembali modal itu
kepada ahli warisnya dengan tetap membagi keuntungan yang dihasilkan
berdasarkan prosentase jumlah yang sudah disepakati.
Jika
Mudharabah telah batal, sedangkan modal berbentuk ‘urudh (barang
dagangan), maka pemilik modal dan pengelola menjual atau membaginya, karena
yang demikian itu merupakan hak berdua. Dan jika si pengelola setuju dengan
penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, maka pemilik modal dipaksa
menjualnya, karena si pengelola mempunyai hak di dalam keuntungan dan dia tidak
dapat memperolehnya kecuali dengan menjualnya. Demikian menurut madzhab Asy
Syafi’i dan Hambali.
Komentar
Posting Komentar