A.    Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber penggalian dan pengembangan
ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Untuk melakukan
penggalian dan pengembangan pemahaman Ayat-ayat Al-Qur’an .. kemampuan tertentu
guna mengasilakan pemahaman yang baik mengenai berbagai perilaku kehidupan
manusai, termasuk dalam bidang ekonomi.Pengembangan ilmu ekonomi Qur’an pada
dasarnya mempunyai peluang yang sama dengan pengembangan ilmu-ilmu lain dalam
tradisi keilmuan Islam. sayang, sebagai suatu disiplin ilmu, ilmu ekonomi
Qur’an belum berkembang pesat. padahal kebutuhan terhadap ilmu ini dirasakan
sudah mendesak, sehubungan kegagalan ilmu ekonomi modern dalam merealisasikan
pembangunan dan kemaslahatan masyarakat.
Sebagai metodologi atau rumusan dalam makalah ini,
penulis ingin sedikit menyampaikan agar dalam penulisannya lebih baik dari
sebelumnya untuk lebih memahami dan lebih fokus pada pembahasannya, maka ada
beberapa hal yang dipaparkan dalam makalah ini yakni :Ayat dan artinya,
Mufrodat ayat, Asbabul Nuzul, Tafsir pedapat para ulama’ Tafsir, Kandungan
Hukum dalam Ayat, Hikmah ayat dan Kesimpulan. Inilah yang nantinya penulis ingin
uraikan saru persatu demi untuk melatih pemahaman kita tentang ayat-ayat
tentang Ekonomi.
B.     Ayat Riba dan Artinya
Dalam Al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan
kali dalam empat surat, tiga diantarannya turun setelah Nabi Hijrah dan satu
ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang  di Makkah walaupun
menggunakan kata riba (QS. Al-Rum (30) : 39) ulama sepakat bahwa riba yang
dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian
hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.[1] Larangan riba
yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan
dalam empat tahap. Adapun ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan masalah
riba diantaranya : 
1.    Surat Ar-Ruum ayat 39
 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ
فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ
زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم : 39)
“Dan sesuatu
riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
2.    Surat An-Nisaa’ Ayat 160 dan 161.
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ
أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا
أَلِيمًا 
(النساء : 160 ،161 )
“Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
3.    Surat Ali Imron Ayat 130
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
4.    Surat Al-Baqarah Ayat 275-276.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا
يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ
الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
(276)
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah  disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang datang kepadanya peringatan
dari Allah. Lalu ia berhenti  maka  baginya  adalah 
apa  yang telah berlalu  dan urusannya  adalah  kepada
Allah dan barang siapa yang kembali lagi, maka  mereka  adalah
penghuni  neraka yang kekal di dalamnya. Allah akan menghapus riba dan
melipat gandakan sedekah dan Allah tidak suka kepada orang-orang kafir lagi
pendosa”.(QS. Al-Baqarah : 275- 276)
5.   Surat Al-Baqarah Ayat 278-279
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
“Hai
orang-orang yang  beriman, bertakwalah  kepada Allah  dan 
tinggalkanlah  sisa-sisa  riba. jika  memang  kamu 
orang  yang  beriman.  Jika  kamu  tidak
melakukannya,   maka   terimalah  
pernyataan   perang   dari Allah  dan 
rasul  Nya  dan  jika  kalian  bertobat 
maka  bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan
tidak  pula  dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)[2] 
C.    Mufrodat Ayat Riba
Dalam Surat
Ar-Ruum Ayat 39, terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami
yakni:
 
  | 
   
 وَمَا آتَيْتُمْ 
 | 
  
   
dan
  apa-apa yang kamu berikan 
 | 
  
   
مِنْ
  زَكَاةٍ 
 | 
  
   
berupa
  atau dari Zakat 
 | 
 
  | 
   
مِنْ رِبًا 
 | 
  
   
sesuatu
  dari Riba 
 | 
  
   
 تُرِيدُونَ 
 | 
  
   
yang kamu
  semua maksudkan atau kehendaki 
 | 
 
  | 
   
 لِيَرْبُوَ 
 | 
  
   
agar dia
  (harta tersebut) tambah 
 | 
  
   
وَجْهَ
  اللَّهِ 
 | 
  
   
untuk
  mencapai keridhoan Allah 
 | 
 
  | 
   
فِي
  أَمْوَالِ النَّاسِ 
 | 
  
   
di dalam
  hartaya manusia 
 | 
  
   
فَأُولَئِكَ 
 | 
  
   
maka
  mereka yang berbuat itu 
 | 
 
  | 
   
فَلَا
  يَرْبُو 
 | 
  
   
maka riba
  itu tidak menjadikan bertambah 
 | 
  
   
هُمُ 
 | 
  
   
orang yang
  berbuat itulah 
 | 
 
  | 
   
عِنْدَ
  اللَّهِ 
 | 
  
   
di sisi
  Allah 
 | 
  
   
الْمُضْعِفُونَ 
 | 
  
   
yakni
  orang-orang yang melipat gandakan dalam (Pahalanya) 
 | 
 
  | 
   
وَمَا
  آتَيْتُمْ 
 | 
  
   
dan apa
  yang kamu berikan 
 | 
  
  | 
  
  | 
 
Di dalam bahasa Arab, bahwa lafadz “Riba” itu
bisa mengandung  ma’na tambahan secara mutlaq atau bahwa Riba secara
bahasa bermakna : Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara
linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar.[3] Adapun
menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil.[4] Ada beberapa
pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah
dalam Islam. Tetapi dalam lafadz yang terdapat dalam Surat Ar-Ruum ayat 39,
tambah disini yang dimaksud tidak lahil hanyalah dalam perihal Pemberihan
hadiah supaya orang yang memberi hadiah tersebut mendapat tambahan yang lebih.
Ini sekilas dari pada uraian lafadz Riba yang dibaca Jer sebab kemasukan huruf
Jer Min. 
Lafadz yang
terdapat dalam surat kedua Surat An-Nisa’ Ayat 160 dan 161 dalam masalah Riba
yang telah disampaikan di atas terdapat beberapa kata diantaranya :
 
  | 
   
فَبِظُلْمٍ 
 | 
  
   
maka
  disebabkan perbuatan zholim 
 | 
  
   
وَأَخْذِهِمُالرِّبَا 
 | 
  
   
dan
  disebabkan mereka mengambil atau memaksan riba 
 | 
 
  | 
   
مِنَ
  الَّذِينَهَادُوا 
 | 
  
   
orang-orang
  Yahudi 
 | 
  
   
وَقَدْ
  نُهُوا عَنْهُ 
 | 
  
   
padahal
  sesungguhnya mereka telah melarang dari padanya 
 | 
 
  | 
   
حَرَّمْنَا 
 | 
  
   
kami
  haramkan 
 | 
  
   
فَأُولَئِكَ 
 | 
  
   
maka
  karena mereka 
 | 
 
  | 
   
عَلَيْهِمْ 
 | 
  
   
kepada
  orang Yahudi 
 | 
  
   
وَأَكْلِهِمْ 
 | 
  
   
mereka
  memakan 
 | 
 
  | 
   
طَيِّبَاتٍ 
 | 
  
   
yang
  baik-baik 
 | 
  
   
 أَمْوَالَ النَّاسِ 
 | 
  
   
harta
  benda manusia 
 | 
 
  | 
   
أُحِلَّتْ 
 | 
  
   
yang
  dulunya dihalalkan 
 | 
  
   
 بِالْبَاطِلِ 
 | 
  
   
dengan
  jalan bathil 
 | 
 
  | 
   
لَهُمْ 
 | 
  
   
bagi
  mereka orang Yahudi 
 | 
  
   
وَأَعْتَدْنَا  
 | 
  
   
kami telah
  menyediakan 
 | 
 
  | 
   
وَبِصَدِّهِمْ 
 | 
  
   
dan karena
  mereka menghalalkan 
 | 
  
   
 لِلْكَافِرِينَ 
 | 
  
   
untuk
  orang-orang yang kafir 
 | 
 
  | 
   
عَنْ
  سَبِيلِ اللَّهِ 
 | 
  
   
dari Jalam
  Allah 
 | 
  
   
 مِنْهُمْ 
 | 
  
   
diantara
  mereka itu 
 | 
 
  | 
   
كَثِيرًا 
 | 
  
   
banyak 
 | 
  
   
 عَذَابًا أَلِيمًا  
 | 
  
   
seksaan
  yang pedih 
 | 
 
Lafadz فَبِظُلْمٍini diwali dengan huruf Fa’ dan Ba’,
kalau Fa’nya ini dalah hurf Athof pada lafadz sebelumnya. Adapun huruf Ba’nya
merupakan Ba’ Sababiyah yang mempuyai arti sebab, dalam lafadz فَبِظُلْمٍitu asalnya dari fiil Madhiظلمyang mempunyai arti hal meletakkan
sesuatu tidak pada tempatnya, ketidak adilan, penganiayaan, penindasan dan
tidak sewenang-wenang. Maka sebab kedholiman orang Yahudi tersebut, maka Allah
mengharamkan sesuatu yang dulunya sesuatu itu baik.
Surat Ali
Imron ayat 130 sebagaimana di atas terdapat kata-kata diantaranya :
 
  | 
   
يَا
  أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا 
 | 
  
   
Hai
  orang-orang yang beriman 
 | 
  
   
اللَّهَ 
 | 
  
   
kepada
  Allah 
 | 
 
  | 
   
لَا
  تَأْكُلُوا الرِّبَا 
 | 
  
   
janganlah
  kamu memakan riba 
 | 
  
   
لَعَلَّكُمْ 
 | 
  
   
supaya
  kamu 
 | 
 
  | 
   
أَضْعَافًا
  مُضَاعَفَةً 
 | 
  
   
dengan
  berlipat 
 | 
  
   
 تُفْلِحُونَ 
 | 
  
   
mendapat
  keberuntungan 
 | 
 
  | 
   
وَاتَّقُوا 
 | 
  
   
dan
  bertakwalah kamu 
 | 
  
  | 
  
  | 
 
Lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا itu terdapat munada di
dalamnya yakni lafadz أيyang digunakan untuk munada yang mana sifatnya berupa
isim mausul yang dipasang Al. juga bahwa lafadz diatas itu sudah kelaku dalam
Kalam Arob, Dalam Al Fiyah Ibn Malik diutarakan dalam Nadhomyna :
وايها ذا
ايها الذي ورد * ووصف اي بسوى هذا يرد
Kemudian dalam Lafadz selanjutnya terdapat
huruf  لَا nahi
yang mempunyai arti larangan pada lafadzأَضْعَافًا مُضَاعَفَةًتَأْكُلُوا
الرِّبَاyakni
larangan atau jangan kamu semua memakan harta riba dengan berlipat ganda.
Dalam Surat
Al-Baqoroh ayat 275 terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami
dalam berbagai disiplin ilmu yakni:
 
  | 
   
الَّذِينَيَأْكُلُونَالرِّبَا 
 | 
  
   
Orang-orang
  yang makan/ mengambil Riba 
 | 
  
   
مَوْعِظَةٌمِنْرَبِّهِ 
 | 
  
   
peringatan
  dari Allah 
 | 
 
  | 
   
لايَقُومُونَ 
 | 
  
   
tidak
  dapat berdiri 
 | 
  
   
فَانْتَهَى 
 | 
  
   
Lalu ia
  berhenti  
 | 
 
  | 
   
إِلَّاكَمَايَقُومُ 
 | 
  
   
melainkan
  seperti berdirinya 
 | 
  
   
فَلَهُ 
 | 
  
   
maka 
  baginya  adalah  
 | 
 
  | 
   
الَّذِييَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَانُ  
 | 
  
   
orang yang
  kemasukan syaitan 
 | 
  
   
مَا سَلَفَ 
 | 
  
   
apa 
  yang telah berlalu  
 | 
 
  | 
   
مِنَالْمَسّ 
 | 
  
   
lantaran
  (tekanan) penyakit gila 
 | 
  
   
وَأَمْرُهُ 
 | 
  
   
dan
  urusannya  adalah   
 | 
 
  | 
   
ذَلِكَ 
 | 
  
   
Keadaan
  mereka yang demikian itu 
 | 
  
   
إِلَى
  اللَّهِ 
 | 
  
   
kepada
  Allah 
 | 
 
  | 
   
بِأَنَّهُمْقَالُوا 
 | 
  
   
adalah 
  disebabkan mereka berkata (berpendapat) 
 | 
  
   
وَمَنْ 
 | 
  
   
barang
  siapa 
 | 
 
  | 
   
إِنَّمَا
  الْبَيْعُ 
 | 
  
   
sesungguhnya
  jual-beli itu 
 | 
  
   
 عَادَ 
 | 
  
   
yang
  kembali lagi 
 | 
 
  | 
   
مِثْلُ
  الرِّبَا 
 | 
  
   
sama
  dengan riba 
 | 
  
   
فَأُولَئِكَ 
 | 
  
   
maka 
  mereka  adalah 
 | 
 
  | 
   
 وَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَ 
 | 
  
   
padahal
  Allah telah menghalalkan jual-beli 
 | 
  
   
أَصْحَابُ
  النَّارِ 
 | 
  
   
penghuni 
  neraka 
 | 
 
  | 
   
وَحَرَّمَالرِّبَا  
 | 
  
   
dan
  mengharamkan riba 
 | 
  
   
هُمْ
  فِيهَا خَالِدُونَ 
 | 
  
   
Mereka yang
  kekal di dalamnya 
 | 
 
  | 
   
فَمَنْجَاءَهُ 
 | 
  
   
Barang
  siapa yang datang kepadanya 
 | 
  
  | 
  
  | 
 
Surat
Al-Baqoroh ayat 276 terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami
juga yakni:
 
  | 
   
 يَمْحَقُ اللَّهُ 
 | 
  
   
Allah akan
  menghapus 
 | 
  
   
وَاللَّهُ 
 | 
  
   
Allah 
 | 
 
  | 
   
الرِّبَا 
 | 
  
   
riba 
 | 
  
   
لَا
  يُحِبُّ 
 | 
  
   
tidak suka 
 | 
 
  | 
   
وَيُرْبِي 
 | 
  
   
dan
  melipat gandakan 
 | 
  
   
كُلَّ
  كَفَّارٍ أَثِيمٍ 
 | 
  
   
kepada
  orang-orang kafir lagi pendosa 
 | 
 
  | 
   
الصَّدَقَاتِ 
 | 
  
   
sedekah 
 | 
  
  | 
  
  | 
 
Dalam Surat
yang kelima dalam urutan surat di atas yaitu Surat Al-Baqorah ayat 278 dan 279
Lafadz yang terkandung di dalamnya yaitu:
 
  | 
   
يَا
  أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا 
 | 
  
   
Hai
  orang-orang yang  beriman 
 | 
  
   
مِنَ
  اللَّهِ 
 | 
  
   
dari
  Allah  
 | 
 
  | 
   
اتَّقُوا
  اللَّهَ 
 | 
  
   
bertakwalah 
  kepada Allah 
 | 
  
   
وَرَسُولِهِ 
 | 
  
   
dan 
  dari rasul  Nya  
 | 
 
  | 
   
وَذَرُوا
  مَا بَقِيَ 
 | 
  
   
dan 
  tinggalkanlah  sisa-sisa  
 | 
  
   
وَإِنْ
  تُبْتُمْ 
 | 
  
   
dan 
  jika  kalian  bertobat 
 | 
 
  | 
   
مِنَ
  الرِّبَا 
 | 
  
   
riba 
 | 
  
   
فَلَكُمْ 
 | 
  
   
maka 
  bagi kalian 
 | 
 
  | 
   
إِنْ
  كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ 
 | 
  
   
jika 
  memang  kamu  orang  yang  beriman 
 | 
  
   
رُءُوسُ
  أَمْوَالِكُمْ 
 | 
  
   
adalah
  modal-modal 
 | 
 
  | 
   
 فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا 
 | 
  
   
Jika 
  kamu  tidak melakukannya 
 | 
  
   
لَا
  تَظْلِمُونَ 
 | 
  
   
kalian
  tidak berbuat zalim 
 | 
 
  | 
   
فَأْذَنُوا 
 | 
  
   
maka  
  terimalah  
 | 
  
   
وَلَا
  تُظْلَمُونَ 
 | 
  
   
dan
  tidak  pula  dizalimi 
 | 
 
  | 
   
بِحَرْبٍ 
 | 
  
   
pernyataan  
  perang   
 | 
  
  | 
  
  | 
 
D.    Asbabul Nuzul Ayat Riba
Riba adalah  kebiasaan  yang 
telah  membudaya  di  kalangan masyarakat  Arab 
jauh  sebelum  larangan  tentang  ini  berlaku. 
Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung bisa hilang di kalangan masyarakat
Arab saat itu. Allah SWT dalam pengharaman riba di dalam Al-Quran dilakukan
dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam pengharaman ini menuju 
kepada  keadaan  masyarakat  saat  itu  yang 
memang  telah terbiasa  melakukan  muamalah ribawiyah atau
transaksi dengan dasar riba untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
Secara umum ada 4 periode turunnya ayat tentang riba,
1 ayat turun di kota Mekah yang berarti ayat tersebut adalah makiyah dan 3
ayat  lainnya  turun  di  kota  Madinah 
yang  berati  ayat  tersebut  adalah madaniyah.
Ayat yang turun di Kota Mekkah adalah :
 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ
فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ
زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم : 39)
Pada ayat ini  dijelaskan  bahwasanya 
Allah  SWT  membenci riba  dan  perbuatan  riba
tersebut  tidaklah  mendapatkan  pahala di  sisi Allah SWT.
Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya riba itu
haram. Artinya bahwa ayat ini hanya berupa peringatan untuk tidak melakukan hal
yang negatif[5]. 
Periode kedua Allah SWT menurunkan ayat : Al Nisa’
Ayat 160-161. sebagaimana di atas.
Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota
Madinah. Ayat  ini  merupakan  kisah  tentang 
orang-orang  Yahudi.  Allah  SWT mengharamkan  
kepada   mereka   riba   akan   tetapi  
mereka   tetap mengerjakan  perbuatan  ini. 
Pengharaman  riba  pada  ayat  ini  adalah pengharaman 
secara  tersirat  tidak  dalam  bentuk 
qoth’i/tegas,  akan tetapi  berupa  kisah  pelajaran 
dari  orang-orang  Yahudi  yang  telah diperintahkan kepada
mereka untuk meninggalkan riba tetapi mereka mereka tetap melakukannya,[6] hal ini juga
dijelaskan al-Maroghi bahwasanya  sebagian  nabi-nabi 
mereka  telah  melarang  melakukan perbuatan riba.[7] 
Periode ketiga Allah SWT menurunkan Surat Al Imron
ayat 130, dan Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah.
Ayat  ini  menjelaskan  kebiasaan  orang  Arab 
saat  itu  yang  sering mengambil  riba  dengan 
berlipat  ganda.  Ayat  ini  telah  secara  jelas
mengharamkan perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman pada ayat ini masih
bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang 
mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda dari modal. Riba
ini disebut dengan riba keji (ربا فحش)
yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda.[8] 
Periode  terakhir  adalah 
periode  pengharaman  mutlak,  yaitu Surat Al Baqarah ayat 278
s/d 279.
Ada  beberapa riwayat tentang riba 
yang  menjadi  sebab-sebab turunnya ayat tentang riba, diantaranya :
Riwayat  dari  Ibnu  Abbas 
mengatakan  bahwa  ayat  ini  turun kepada  Bani 
Amru  bin  Umair  bin  Auf  bin  Tsaqif. 
Adalah  Bani Mughirah  bin  Makhzum  mengambil 
riba  dari  Bani  Amru  bin  Umair bin  Auf 
bin  Tsaqif,  selanjutnya  mereka  melaporkan 
hal  tersebut kepada Rasulullah SAW dan beliau melarang mereka melalui
ayat ini untuk mengambil riba.[9] 
Berkata ‘Atho dan ‘Ikrimah  bahwasanya 
ayat  ini  diturunkan kepada  Abbas  bin  Abdul 
Mutholib  dan  Utsman  bin  Affan.  Adalah Rasulullah
melarang keduanya untuk mengambil riba dari korma yang dipinjamkan 
dan  Allah  SWT  menurunkan  ayat  ini 
kepada  mereka, setelah mereka mendengar ayat ini mereka mengambil modal
mereka saja tanpa mengambil ribanya.
Berkata  Sadi:  Ayat  ini 
diturunkan  kepada  Abbas  dan  Khalid bin Walid. Mereka
melakukan kerjasama pada masa Jahiliyah. Mereka meminjamkan  uang 
kepada  orang-orang  dari  Bani  Tsaqif.  Ketika Islam 
datang  mereka  memiliki  harta  berlimpah  yang 
berasal  dari usaha riba, maka Allah menurunkan ayat :
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Maka Nabi SAW bersabda :
“Ketahuilah
setiap riba dari riba jahiliyah telah dihapuskan dan riba pertama yang saya
hapus adalah riba Abbas bin Abdul Muthollib”.
E.     Tafsir Ayat-Ayat Riba
Dalam ayat Al-Qur’an yang telah diutarakan di atas
para Ulama Mufasirin atau Ahli Tafsir dalam mentafsiri Ayat Al-Qur’an terdapat
berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Dalam ayat yang pertama Surat Ar-Ruum
ayat 39 dalam Kitab Jalalain karya Al-Imamaini yakni Syeh Jalaluddin Muhammad
bin Ahmad Al Mahallii dan Jalaluddin Abdul Ar Rohman bin Abu Kar As Syuyuti,
menafsiri bahwa Lafadz “وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا”yakni umpamanya sesuatu yang diberikan
atau dihadiahkan kepada orang lain supaya dari apa yang telah diberikan orang
lain memberikan kepadanya basalan yang lebih banyak dari apa yang telah ia
berikan, pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksudkan
dalam masalah muamalah. Kemudian dilanjutkan lafadz “ لِيَرْبُوَ“ yakni orang-orang yang memberi
itu, mendapatkan balasan yang bertambah banyak, dari sesuatu hadiah yang telah
diberikan.sedangkan “ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ“ yang terdapat penjelasana yakni riba itu
tidak menambah banyak inda Allah atau disisi Allah dalam arti tidak ada
pahalanya bagi orang-orang yang memberikannya. وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ
زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ ... ألحini bahwa orang-orang yang melakukan sedekah
semata-mata karena Allah, untuk mendapatkan keridhoaan-Nya inilah yang akan
mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah, sesuai dengan apa yang
mereka kehendaki. Di dalam  ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi
orang-orang yang diajak bicara atau mukhathabin”.[10] 
Dalam uraian di atas dalam kami simpulkan bahwa :
                     1.       Riba di dalam Muamalah yang tidak
akan mendadikan tambah di sisi Allah atau Inda Allah.
                     2.       Tidak mendapat pahala orang yang
melakukan riba atau tambahan.
                     3.       Anggapan salah yang ditolak, bahwa
pinjaman riba yang pada diri orang yang memberi hadiah, seolah-olah menolong
mereka yang membutuhkannya dan juga melakukan suatu perbuatan untuk mendekatitakarrub
kepada Allah.
                     4.       Shodaqoh merupakan perkara yang
dilipat-lipat gandakan oleh Allah kepada orang yang bersedekah.
                     5.       Ayat yang bersifat peringatan untuk
tidak melakukan hal yang negatif atau perkara yang dilarang oleh Allah.
                     6.       Ayat ini tidak ada petunjuk Allah
SWT yang mengatakan bahwasanya“riba itu haram”.
Dalam surat An-Nisa’ Ayat 160 dan 161 para Ulama
Tafsir berpendapat bahwa ;
Lafaz فَبِظُلْمٍمِنَ الَّذِينَ
هَادُوا artinya
disebabkan keaniayaan atas perbutan orang-orang Yahudi, حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍyakni yang
tersebut dalam Firman-Nya, “Kami haramkan setiap yang berkuku.
“sampai akhir ayatوَبِصَدِّهِمْ yakni manusai عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ maksudnya
agama-Nya كَثِيرًا . Juga dalam lafadz وَأَخْذِهِمُ
الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ ini
di utarakan dalam kitab Taurat وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ yakni
dengan memberi suap dalam pengadilan وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ
مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا yakni
menyakitkan.[11] 
Menurut penulis bahwa dalam tafsir ini saya simpulkan
bahwa :
1. Riba
merupakan salah satu perbuatan yang Bathil, termasuk sesuatu yang diharamkan
oleh Alloh adalah sesuatu yang berkuku,
2. Riba
telah jelas diharamkan oleh Alloh begitu juga dalam kitab Taurat
3. Dan bagi
orang yang Kafir sudah dipersiapkan oleh Allah tempat yang sesuai dengan
perbuatannya yakni siksa yang pedih dan menyakitkan.
Pada ayat ini Allah menjelaskan kalau riba adalah
pekerjaan yang batil, maka dari itu Allah juga menjelaskan dalam ayat tersebut
bahwa Allah sudah menyiapkan mereka azab yang pedih. Sebagian ulama’ berkata :
Orang-orang yang menghalalkan riba serta besar dosanya, maka diapun akan tahu
betapa keadaan mereka-mereka kelak di hari akhirat, merka akan dikumpulkan
dalam keadaan gila, kekal di neraka, disamakan dengan orang kafir akan mendapat
perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal dalam la’nat.[12] 
Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli Tafsir
menjelaskan bahwa lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ini yang dimaksud adalah kaum Sakif
atau golongan manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz لَا تَأْكُلُوا
الرِّبَاأَضْعَافًا ini
yang dimaksud adalah di dalam harta dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz
sebagai penguwat yaitu مُضَاعَفَةً ini
maksudnya adala  الاجل misi atau tujuan, kemudian
dilanjutkan lagi dengan kata وَاتَّقُوا اللَّهَ  takutlah kamu semua orang
Iman kepada Allah di dalam memakan sesuatu yang mengandung Riba.  لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَini dengan
maksud supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka seksaan Allah.[13] 
Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali Imron ayat 130
ini penulis simpulkan bahwa :a. yang diperingatkan dalam ayat ini adalah
Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam, b.Peringatan untuk
menjahui makan Riba, c. Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan
harapan tidak mendapat murka dan Seksa dari Allah.
Surat Al Baqarah Ayat 275 – 276 bahwa :
الربا :
الزيادة  والنمو[14] 
Riba: secara bahasa berarti bertambah dan berkembang,
sedangkan dalam terminologi syar’i berarti tambahan nilai dari modal yang
diambil pemilik modal/debitor kepada peminjam/kreditor atas tempo yang
diberikan.[15] 
Menurut Ibnu Arabi, riba adalah sesuatu yang biasa
dilakukan manusia  Arab  pada  masa Jahiliyah, seseorang berjual
beli dengan orang lain dalam tempo waktu  tertentu, setelah datang
temponya orang tersebut akan menagih ketika tagihan tidak bisa dilunasi 
makaorang tersebut akan melipatgandakan pokok hartanya[16]. 
يَأْكُلُونَ
الرِّبَا
Arti makan di sini adalah bermuamalah atau
bertransaksi, disebutkan dengan kata makan karena pada umumnya
kebanyakan   tujuan kepemilikan harta adalah untuk dimakan[17]. 
لَا
يَقُومُونَ
Maksudnya dibangkitkan dari kubur pada hari
kiamat  nanti[18]. Hal ini juga
seperti bacaan Abdullah bin Mas’ud yang menambahkan kata hari kiamat [19]. pada
kalimat: لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ 
يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Maksudnya berdiri tidak seimbang seperti orang
gila [20]. 
مَوْعِظَةٌ
Maksudnya peringatan untuk kebaikan[21]. Yang dimaksud
disini adalah larangan untuk meninggalkan riba[22]. 
Secara ringkas bahwa Ibnu Kasir menafsiri Surat
Al-Baqarah ayat yang ke 275, yakni: bahwa orang yang memakan riba maka
ketika mereka bangkit dari kuburannya pada hari kiamat melainkan seperti
berdirinya orang gila pada saat dia mengamuk dan kesurupan Setan. Keadaan ini
ada sebab dalam ayat di atas bahwa Allah SWT. sudah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba namun mereka berkata“Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba”. Diperkuat dengan perkataan Ibnu Abbas yaitu “Pemakan
riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan seperti orang gila yang
mengamuk”.[23] 
يمحق الله
الربا
Maksudnya Allah SWT akan mengurangi dan menghilangkan
harta  riba  secara  keseluruhan  dari 
pemiliknya  atau  menghilangkan berkahnya  sehingga 
tidak  bermanfaat  bahkan  dan  diberi  hukuman 
di akhirat[24]. 
ويربى
الصدقات
Kebalikan riba maka sedekah Allah SWT akan menambah,
mengembangkan dan  memperbanyak ganjaran dengan  berlipat ganda di
akhirat[25]. 
Dalam Kitabnya Al Imamaini yakni Syeh Jalaluddin
Muhammad bin Ahmad Al Mahallii dan Jalaluddin Abdul Ar Rohman bin Abu Kar As
Syuyuti, menafsiri ayat Surat Al Baqarah ayat ke 275 di atas bahwa Lafadz الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا artinya mengambil Riba. Riba itu ialah tambahan dalam muamalah dengan uang
dan bahan makanan, baik mengenai banyaknya maupun mengenai waktunya, لَا
يَقُومُونَ dari
kubur-kubur mereka إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّyang
menyerang mereka; minal massi berkata dengan yaquuumuuna. ذَلِكَ maksudnya yang menimpa mereka
itu بِأَنَّهُمْmaksudnya
disebabkan mereka mengatakanقَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَاdalam soal diperbolehkannya. Berikut
ini kebalikan dari persamaan yang mereka katakan itu secara bertolak belakang,
maka Firman Allah menolaknya.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَافَمَنْ جَاءَهُ,
maksudnya sampai kepadanyaمَوْعِظَةٌatau nasihat  مِنْ رَبِّهِ ,lafadz فَانْتَهَى, artnya tidak memakan riba
lagi فَلَهُ مَا سَلَفَ artinya sebelum datangnya larangan dan doa tidak diminta untuk
mengembalikannya  وَأَمْرُهُdalam memaafkannya terserah وَمَنْ عَادَmemakannya dan tetap meyamakannya
dengan jual beli tentang halalnya,فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ  .
mereka tetap di dalam neraka selamanya.[26] 
Dalam ayat di atas telah ditafsiri oleh Muhammad bin
Ibrahim bin Al-Mundzir An Naisabuuri, sebagai Syaih Tanah Haram Makkah (242-319
H. / 856-931 M) .
Sesudah Allah menyebutkan sifat orang-orang yang
bertakwa, yang menunaikan kewajiban zakat disamping bersedekah kepada fakir
miskin, dan selalu membantu perjuangan di jalan Allah dengan harta dan
tenaganya, yang kesemuanya itu semata-mata karena mengharap ridha Allah, maka
dalam ayat ini Allah menceritakan sifat orang yang menyalahgunakan kalimat
menolong atau membantu, padahal sebenarnya ia mencari keuntungan bahkan mencekik
dan menghisap darah. Mereka adalah pemakan riba. Allah menyatakan, bahwa mereka
yang memakan riba tak akan dapat berdiri tegak dalam hidupnya di tengah
masyarakat, melainkan bagaikan orang kesurupan setan. Sebab, ia takkan pernah
tenang sesudah ia menghisap darah dan kekayaan dengan cara yang
sekejam-kejamnya karena sasarannya selalu orang-orang yang membutuhkan bantuan
dengan jalan menghutang. Lebih-lebih kelak jika bangkit dari kubur di hari
kiamat ia bagaikan orang kesurupan yang dipermainkan setan.
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Pemakan riba (rentenir)
akan dibangkitkan di hari kiamat bagaikan orang gila yang tercekik." Ibnu
Abbas r.a. juga mengatakan, banwa kelak di hari kiamat akan dikatakan kepada
pemakan riba: "Angkatlah senjatamu untuk berperang". Kemudian
Ibnu Abbas membaca ayat 275 ini.
Abu Hurairah r.a. menuturkan, bahwa Rasulullah saw.
bersabda, "Ketika nulam Mi'raj aku melihat suatu kaum yang perut mereka
bagaikan rumah. Dari dalamnya tampak adaular-ularyangmerayapkeluar. Kemudian
aku bertanya, “Siapakah mereka itu, hai Jibril?' Jawab Jibril/Mereka adalah
pemakan riba'."
Ketika menceritakan hadis tentang Isra' Samurah bin
Jundub menyebutkan sabda Nabi SAW.: "Kemudian kami sampai ke
sungai yang airnya merah bagaikan darah, dan di situ ada orang berenang,
sementara di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu-batu. Apabila orang
yang berenang itu datang ke tepi sambil membuka mulutnya, maka orang yang
mengumpulkan batu itu memasukkan batu ke dalam mulutnya.''Kemudian
disebutkan dalam penjelasan-nya, bahwa itu adalah pemakan riba.
ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
Maknanya: "Karena
mereka telah menentang hukum Allah, dan mengatakan, bahwa jual beli itu sama
dengan riba".
Dalam hal
ini mereka mempergunakan qiyas yang terbalik dan keliru.
Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, yang
mengetahui hakikat dan akibat dari segala sesuatu yang berguna sehingga
dibolehkan dan yang berbahaya diharamkan-Nya. Sebab, Allah itu sayang kepada
hamba-Nya melebihi kasih sayang ibu terhadap anaknya yang masih bayi.
فَمَنْ
جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَاسَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى
اللَّهِ
Maknanya: "Maka barangsiapa yang mendengar
larangan Allah ini lalu berhenti, baginya apa yang telah lalu sebelum turunnya
ayat yang mengharamkan ini, sebagaimana yang tersebut di ayat yang lain".عق الله عما
سلق , maknanya: "Allah
memaafkan apa yang telah lalu".Juga disebutkan dalam sabda Nabi saw.
ketika Fathu Makkah: "Dan setiap riba yang terjadi di
masa Jahiliyah terletak di bawah telapak kakiku, dan yang pertama aku hapus
ialah riba yangdilakukan oleh Al-Abbas'. Sejak Nabi saw. bersabda begitu, maka
orang yang biasa membayar bunga hutangnya dihentikan, dan yang harus dibayar
hanya pokok hutangnya saja. Dan Nabi saw. tidak menyuruh mereka yang sudah
menerima bunga riba itu untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya.
Ummu Yunus (al-Aliyah) binti Abqa' mengatakan, bahwa
Ummu Bahnah ibunya Zaid bin Arqam (yakni bekas budaknya yang pernah
dikumpulinya sehingga melahirkan anak) berkata kepada Aisyah r.a., "Ya
Ummul Mukminin, kenalkah anda kepada Zaid bin Arqam?" Jawab Aisyah,
"Kenal." Ummu Bahnah berkata, "Aku telah menjual kepadanya
seorang hamba seharga delapan ratus dengan hutang sampai waktu membayarnya.
Tetapi kini ia butuh uang, maka aku beli budak itu seharga enam ratus." Aisyah
r.a. berkata, "Busuk sekaji pembelianmu itu. Sampaikanlah kepada
Zaid, bahwa ia telah menggugurkan jihadnya bersama Rasulullah saw. Sunguh telah
gugur jihadnya bersama Rasulullah saw. Sungguh telah gugur jihadnya, jika ia
tidak segera bertobat." Ummu Bahnah bertanya, "Bagaimana
pendapatmu jika aku halalkan yang dua ratus itu dan aku hanya menerima uang
enam ratus saja?" Jawab Aisyah, "Ya, seharusnya
memang begitu. Barangsiapa yang mendapat petunjuk Tuhannya lalu menghentikan
perbuatan ribanya, maka baginya apa yang telah lalu sebelum ia ketahui. Yakni
jika sudah mengetahui hukumnya, maka haram dan sebagai seorang muslim harus
menghentikannya. Jika tidak, berarti ia menentang hukum Allah, berperang
melawan Allah." (H.R. Ibnu Abi Hatim).
Keterangan atsar ini masyhur dan ini menjadi dalil
haramnya menjual barang dengan hutang, kemudian dibeli kembali oleh penjualnya
dengan harga kontan yang kurang dari harga pembeliannya.
 وَمَنْ عَادَmaknanya: "Dan barangsiapa
yang mengulangi perbuatan ribanya sesudah mendapat keterangan ini, maka mereka
layak menerima siksa Allah. Mereka adalah ahli neraka dan kekal di
dalamnya".
Shohabat Jabir RA. menuturkan, bahwa ketika ayat 275
ini turun, Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa yang tidak
menghentikan (meninggalkan) mukhabarah. maka hendaknya diberitahu, bahwa ia
akan berperang dengan Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Dawud dan
Hakim)
Mukhabarah ialah menggarapkan tanah kepada orang lain
untuk minta bagian dari hasilnya. Muzabanah ialah membeli dengan caramenukar
kurma ruthab yang masih basah di atas pohon dengan kurma yang sudah kering di
atas tanah. Muhaqalah ialah membeli dengan menukar biji-biji (padi dan
sebagainya) yang masih di pohon dengan padi yang sudah kering di tanah.
Kesemua-nya itu diharamkan, karena tidak dapat diketahui persamaan
timbangannya.
Ulama fiqih berpendapat, tidak mengetahui persamaan
timbangan antara dua jenis barang sama dengan riba fadhal (menukar barang
sejenis dengan kelebihan yang satu dari yang lainnya).
Dan urusan riba ini termasuk perkara sulit bagi
kebanyakan ahli ilmu, sehingga Umar bin Khathab r.a. berkata,"Ada tiga hal
yang aku inginkan, andaikan Rasulullah saw. memberi kepada kami pedoman untuk
menjadi pegangan, yaitu hak waris nenek (datuk) dan kalalah serta beberapa
masalah riba dan yang mirip dengan riba atau dapat menyebabkan riba."
An-Nu'man bin Basyir mengatakan, bahwa ia mendengar
Rasulullah saw. bersabda:
حرام فالوسيلة إليه مثله؛ لأن ما أفضى إلى الحرام حرام،
كما أن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. وقد ثبت في الصحيحين، عن النعمان بن
بشير، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "إن الحلال بين وإن
الحرام بين، وبين ذلك أمور مشتبهات، فمن اتقى الشبهات استبرأ لدينه وعرضه، ومن وقع
في الشبهات وقع في الحرام، كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه (رواه البخارى
ومسلم )
"Sesungguhnya halal itu sudah jelas
dan haram juga sudah jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar.
Karenanya, barangsiapa yang menjaga diri dari perkarasyuhbat, bersih agama dan
kehormatannya. Sebalilnya barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syuhbat
maka ia akan jatuh ke dalam perkara haram, ^agaikan gembala yang memelihara
ternaknya di sekiiar tempat terlarang, mungkin ternaknya terjerumus ke
didalamnya."(H.R.
Bufchari-Muslim).
Al-Hasan bin Ali r.a. mengatakan, bahwa ia mendengar
Rasulullah saw. bersabda:
دع ما يريبك
إلى ما لا يريبك
"Tinggalkan
apa yang anda ragukan, kerjakan apa yang
tidak anda ragukan. ". (HR. Ashabus Sunan)
Dan di hadis lain disebutkan:
وفي الحديث
الآخر: "الإثم ماحاكفي القلب وتردد تفيه النفس،وكرهت أن يطلع عليه الناس
"Dosa
itu yang goyah dalam hati, dan ragu dalam perasaan, serta tidak suka dilihat
orang. "
Di lain riwayat disebutkan:
استفت قلبك
وإن أفتاك الناس المفتون
"Tanyakan
kepada hatimu sendiri, meskipun sudah diberi fatwa oleh semua orang. "
Umar r.a.
berkata,"Di antara ayat-ayat yang akhir turunnya ialah ayat tentang riba,
dan Rasulullah saw. meninggal dunia sebelum menerangkan semua rinciannya kepada
kami. Karena itu, tinggalkan riba dan semua yang meragukan."
Abu Sa'id
mengatakan, bahwa Umar r.a. berkhotbah: "Sungguh, mungkin aku melarang
kalian dari apa-apa yang mungkin berguna bagi kamu, dan termasuk di antara
ayat-ayat yang terakhir turunnya ialah ayat tentang riba, sehingga ketika
Rasulullah saw. meninggal dunia belum menerangkan semuanya kt?ada kita. Karena
itu, tinggalkan apa yang kalian ragukan, untuk melakukan apa yang tidak
meragukan."
(HR. Ibnu
Majah dan Ibnu Murdawaih)
Ibnu Mas'ud
r.a. mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda, "Riba itu ada tujuh puluh tiga
bab (cara)."
(HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Abu Hurairah
mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda, "Riba itu ada tujuh puluii macam
bagiannya, seringan-ringannya seperti seseorang yang bersetubuh dengan
ibunya."
(HR. Ibnu Majah)
F.     Kandungan Hukum Ayat Riba
Berdasarkan  ayat-ayat  Al-Quran 
dan  Sunnah  bahwa  terdapat larangan untuk melakukan
transaksi  riba. Larangan  yang paling  jelas dari nash Al-Quran
adalah:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)
Ayat ini di dalam uslubnya adalah perintah, tetapi
perintahnya adalah  untuk  meninggalkan.  Di  dalam 
ushul  fiqih  larangan  terhadap sesuatu  adalah 
berarti  perintah  untuk  berhenti  mengerjakan 
sesuatu tersebut.  Dalam  hal  ini  larangan 
untuk  mengerjakan  riba  berarti perintah untuk berhenti
mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharaman.[27] 
Disamping  ayat  di  atas 
pengharaman  riba  juga  terdapat  pada ayat yang turun
sebelum ayat ini, yaitu:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Di  dalam  Hadits  bahkan 
ada  beberapa  orang  yang  terkait dengan 
orang  yang  bertransaksi  riba  ini  akan 
mendapat  laknat  dari Allah SWT, yaitu:
عن جابر رضى الله عنه قال : لعن رسول الله صلى الله عليه
وسلم : أكل الربا وموكلها وكاتبها وشاهديه وقال : هم سوء (رواه مسلم)
Artinya:  Dari 
Jabir  r.a  berkata:  Rasulullah  SAW  melaknat
pemakan  riba,  orang  yang  mewakili  riba, 
penulis  riba,  dan  2  orang yang menjadi saksi dari
transaksi riba, beliau bersabda: mereka adalah sama[28] 
Ada pendapat yang mengatakan bahwa keharaman riba
adalah jika  dilakukan  dengan  berlipat  ganda 
sebagaimana  ayat  di  atas  yang menyebutkan 
larangan  untuk  tidak  memakan  riba  dengan 
berlipat ganda.    Menjawab   
hal    tersebut    bahwa   
sesungguhnya    lafadz أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً  adalah  bukan 
menunjukkan  bahwa  larangan  ini berlaku hanya kepada riba yang
diambil dengan berlipat ganda, akan tetapi  ayat  ini 
hanya  menggambarkan  bahwa  keadaan  ketika  ayat
tersebut  diturunkan  bahwa  masyarakat  Arab 
ketika  itu  benar-benar melakukan  perbuatan 
tercela  dengan  mengambil  riba  yang  berlipat
ganda.  Turunnya  ayat  ini  adalah  fase 
ketika  dari  turunnya  larangan riba  yang 
secara  bertahap.  Artinya  larangan  sampai 
fase  yang  ketiga ini  hanya  bersifat 
larangan  terbatas  (juz’i),  akan  tetapi 
selanjutnya setelah turun ayat untuk fase keempat secara  jelas
disebutkan  bahwa riba itu secara keseluruhan adalah haram. Haramnya riba
adalah baik untuk yang sedikit maupun untuk yang banyak, baik yang mengambil
keuntungan  dengan  riba  itu  yang  berlipat 
ganda  maupun  yang  tidak berlipat  ganda. 
Seperti  pengharaman  khomar,  bahwa  khomar  sedikit
maupun banyaknya adalah haram, demikian juga dengan riba. Seperti khomar 
yang  merupakan  salah  satu  budaya  dari 
masyarakat  Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian dari budaya
masyarakat Arab yang sangat  kuat,  oleh  karena  itu 
Allah  SWT  dalam  pengharaman  riba menurunkannya 
secara  bertahap  sama  seperti  pengharaman  khomar
yang juga bertahap.
Ada satu kaedah fiqh yang terkait dengan hukum riba,
yaitu :
اذا اتحد
الجنسان حرم الزيادة والنساء واذا اختلف الجنسان حل التفاضل دون النساء
Artinya:
Jika sama bentuk kedua barang maka haram (riba fadl dan nasi’ah) dan jika
berbeda bentuk kedua barang maka boleh lebih nilai satu dengan yang lain tetapi
tetap haram riba nasiah. [29] 
Dalam kaedah ini dijelaskan bahwa ushul ribawyah yang
sama haram  untuk  berbeda,  antara  gandum 
dengan  gandum  haram  untuk ditukar dalam jumlah yang berbeda.
Selanjutnyaapakah transaksi ribawi akan merusak akad/
perjanjian jual-beli?  Berdasarkan kaedah   ushul fiqih terdapat
perbedaan di kalangan ulama, yaitu:
1.   Bahwasanya larangan terhadap perkara
muamalah akan menyebabkan rusaknya aqad muamalah tersebut. Artinya akad jual
beli bisa batal ketika jual beli tersebut menggunakan transaksi riba di
dalamnya.
النهى يضتضى
الفساد فى المنهى عنه فى المعاملات
2.   Bahwasanya larangan terhadap perkara
muamalah tidak akan menyebabkan rusaknya akad muamalah tersebut. Artinya akad
jual beli  tidak  batal  tetapi  jual  beli 
tersebut  sah,  hanya  saja  hukum akadnya menjadi
makruh. 
النهى لا
يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى المعاملات
Di dalam perkembangannya bahwa riba terdapat dalam
banyak
bentuk. 
Salah  satu  bentuk  riba  adalah  bunga 
bank.  Mengapa  bunga bank  haram?  Karena 
terdapat  unsur  riba  jahiliyah  di  dalamnya.
Pengertian riba sangat dikenal dekat di masyarakat  Arab sebagai riba
nasi’ah.    Biasanya    orang   
yang    memberi    hutang   
ketika    jatuh tempo/waktu   pembayaran  
akan   mengatakan   kepada   orang  
yang berhutang  تقضي او تربيartinya
hendak engkau lunasi hutangmu atau bertambah hutangmu? bertambah di sini adalah
berlipat bunga hutang tersebut. Di dalam sistem bunga disamping bunga yang
telah dihitung, ketika  jatuh  tempo  dan  belum 
dibayar  maka  secara  otomatis  denda akan dikenakan yang
akan semakin menambah hutang nasabah.  
Riba nasi’ah  pada  dasarnya 
adalah  riba  tempo,  yaitu  ketika seseorang berhutang
dalam  waktu berjangka yang telah ditetapkan maka ia  dikenakan 
tambahan  berdasarkan  persentase  bunga  dari  sisa
pokok hutangnya.
Selanjutnya banyak pertanyaan yang sebenarnya adalah
ulangan yang ditanyakan orang-orang jahiliyah dahulu yang menyebutkan 
bahwa  riba  adalah  sama  atau  identik 
dengan  jual  beli. Bahkan  banyak  juga 
pertanyaan-pertanyaan  kritis  bahwa  bank  Islam
atau  Bank  Syariah   tidak   lebih  
hanya   sama   dengan   bank-bank
konvensional.  Untuk  menjawab  hal  ini  penulis 
mengutip  pendapat Prof. A. Mannan yang  menyebutkan 
beberapa  perbedaan  antara perdagangan/jual beli bebas bunga dan
jual beli berbunga :
1.    Pengambilan  resikolah 
yang  membedakan  antara  jual  beli  dan bunga.
Bagi  perdagangan   normal   resiko  
adalah   dasar   yang diperkenankan Islam, sedangkan bunga
tetap dan tidak turun naik seperti laba.
2.    Bila modal yang diinvestasikan dalam
perdagangan menghasilkan laba, ia merupakan hasil inisiatif, usaha, dan
efesiensi, yang tidak terdapat pada bunga, yang hanya tahu untuk tanpa usaha.
3.    Perdagangan  adalah 
produktif  dan  akan  mendapatkan  manfaat  sesudah
bekerja, mengalami kesulitan dan berketerampilan, maka  seseorang 
membuka  lapangan  kerja  dan  pertumbuhan  ekonomi.
Adapun  bunga  terbukti  hanya  meningkatkan 
krisis  dan  riskan terhadap resiko gejolak moneter.
4.    Perdagangan  salah satu faktor
dominan  dalam    proses
pembangunan     peradaban,  sedangkan bunga
menciptakan kelemahan, dengan mementingkan keuntungan diri sendiri.[30] 
G.    Hikmah Diharamkannya Riba
Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba,
semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya,
masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa
yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:
1.      Riba adalah suatu perbuatan
mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1
dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa
imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan
mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis
Nabi: "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan
darahnya.”(Abu Nua'irn dalam Hilyah). 
Oleh karena
itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
2.      Bergantung kepada riba dapat
menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin,
bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun
berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga
hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan
pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat
terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak dapat
disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh
jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan. (Tidak
diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi
perekonomian).
3.      Riba akan menyebabkan terputusnya
sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam.
Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan
uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu
dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan
diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham.
Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu
alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
4.      Pada umumnya pemberi piutang adalah
orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat
yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk
mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak
berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau
dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur
pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion
de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang
yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas
masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan
golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api
terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan
oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi. Sejarah pun telah mencatat betapa
bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional
dan internasional.
H.    Kesimpulan
Riba secara bahasa bermakna :  Ziyadah /
tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh
dam membesar.[31] Adapun
menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil.[32] Ada beberapa
pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah
dalam Islam. 
Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan
menjadikan para shahabat Nabi, seperti ucapan Umar Ibn Khaththab, “Meninggalkan
sembilan per sepuluh dari yang halal.” ini disebabkan mereka tidak memperoleh
informasi yang utuh tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Sholallahu
‘Alaihi Wa Sallam.[33] 
Di dalam Ayat-ayat tertang riba di atas bahwa penulis
sedikit menyimpulkan bahwa ayat di atas itu disampaikan dengan cara
bertahab-tahab mulai dari sesuatu yang dikabarkan tentang bahayanya yang
akhirnya diharakkan-Nya. Maka kita sebagai Manusia yang Iman kepada Ayat Allah
harus berusaha menjahui riba lebih-lebih tahu mana sesuatu yang riba dengan
sesuatu yang tidak riba.
I.       Penutup
Semua orang  yang  akan  atau 
telah  berkeluarga pasti  bercita-cita  untuk mewujudkan
keluarga yang harmonis, keluarga yang  dibalut  mawaddah wa rahmah
dan inilah tujuan utama dari dibentuknya keluarga (QS. Ar Rum 30:21).
Darinya  diharapkan lahir sebuah  generasi  penerus  yang
salih dan  shalihah, sehingga  keluarga  tersebut 
berperan  sebagai  batu  pertama  membangun  suatu
masyarakat (QS. Al Furqon 25: 74).
Tafsir sebagai salah satu ilmu yang mempunyai fungsi
untuk menjelaskan Al-Qur’an atau yang masih bersifat mujmal, namun tafsir hanya
sebatas hasil penalaran, kajian dan ijtihad para mufassir sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya, dimana mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an ada
kalanya dengan cara bil ma’tsur dan ada kalanya bir ro’yi. Seperti halnya
tafsir Ibnu Katsir yang mana tafsir tersebut dalam penyusunannya menggunakan
metode bil ma’tsur sebab dalam tafsir tersebut ditafsir dengan Al-Qur’an yaitu
dengan menjelaskan satu ayat dan dikuatkan dengan ayat yang lain, selain
menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an beliau juga menafsirkan dengan hadits
dan juga pendapat para sahabat, sehingga kami bisa menemukan beberapa kajian
tentang mu’amalah khususnya masalah Riba dalam tafsir tersebut. Misalnya dalam
surat Al-Baqarah ayat 275 yang menjelaskan tentang riba dan masih banyak
surat-surat yang lain yang menjelaskan tentang hukum mu’amalah dalam kitab
Tafsir Ibnu Katsir.
J.      Kritik Dan Saran
Selama proses penulisan makalah ini,
penulis melakukanperenungan dalam pembuatan makalah ini. Diharapkan
makalah ini dapat mengajak seluruh pembaca untuk lebih memahami tentang tafsir
dalam Muamalah.
Dalam penulisan makalah ini, penulis sadar bahwa masih
banyak kekurangan yang menyebabkan makalah ini jauh dari kesempurnaan yang
diharapkan. Oleh karena itu, penulis mengharap sumbang kritik dan saran yang
membangun yang nantinya bermanfaat bagi penulis sendiri maupun seluruh pembaca.Wallauhua’lam
[1] . Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung.
Cet. I. hlm. 545. 
[2]Depardemen Agama RI. Al Qur’an
Dan Terjemahannya hlm. 86-87 
[3]Muhammad Syafi’I Antoni, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani. Cet. IV. 2009. hlm. 37
diambil dari Buku Islamic Bangking and Interest: A Study of The
Prohibition of Riba and its contemporary Interpretation (Leiden: EJ.
Brill, 1996) karya Abdullah Saeed. 
[4]Muhammad Syafii Antonio, Bank
Syariah: Wawasan Ulama dan Cendekiawan(Jakarta; Central Bank of Indonesia
and Tazkia Institute, 1999). 
[5]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.390 
[6]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.390 
[7]Ahmad Musthofa al-Maroghi. Tafsir
al-Maroghi.Jilid.2. Juz. 6 (Beirut: Dar al-  Fikr) hal. 18 
[8]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. 390 
[9]An-Nisabury. Asbab an-Nuzul.
(Beirut: Dar al-Fikr) hal. 58-59. 
[10]Jalalaini, Tafsir Al Qur’an AL
Karim, Jilid 1 hlm. 295. 
[11]Jalalaini, Tafsir Al Qur’an AL
Karim, Jilid 1 hlm. 82 
[12]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemah
Kitab Tafsir Ayat Ahkam, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2003, hal. 324 
                [13]Ibn Thohir bin Ya’kub Al-Fauruzi zadi, Tanwirul Al Miqbaas min
Tafsir Ibn Abbas, Dar Al-Fikr.hlm. 56. 
[14]Ibnu  al-Manzhur.  Lisan 
al-Arab.Jild.  14  (Beirut:  Dar  al-Fikr. 
1990)  hal.  304. Lihat juga Majma al-Lughoh al-Arabiyah. Al-Mu’jam
al-Wasith. Jilid.1 ( Arab Saudi: al-Dar al-Handasah. 1985) hal. 338 
[15]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.383 
[16]Ibnu Arabi. Ahkam al-Quran.Jilid1(Beirut:
Dar al-Fikr) hal.320. 
[17]Al-Baghwi.  Ma’alim 
Tanzil  fi  al-Tafsir  wa  al-Takwil. 
(Bairut:  Dar  el-Fikr. Juz.1.  1989)  hal. 
397.  Lihat  juga  an-Nisabury.  Tafsir 
Ghoroib  al-Quran  wa Roghoib al-Furqon. Jilid. 2 ( Libanon: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah. 1996 ) hal 60. 
[18]Al-Baghwi……. hal.  397. Lihat
juga Sayyidi Abdurrahman. Al-Jawahir Al-Hisan fi Tafsir al-Quran.
(Libanon. Dar al-Kutub al_ilmiyah. Juz.1) hal. 216.  
[19]Ibnu  Katsir.  Al-Quran 
al-Azhim.  Jilid.  1  (Beirut:  Dar al-Fikr.)
hal.  275.  Lihat juga  Sayidi  Abdurrahman.  al-Jawahir 
al-Hisan  fi  Tafsir  al-Quran.  Juz.1 (Libanon. Dar
al-Kutub al-Ilmiyah. Bairut) hal. 216.  
[20]Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.383. 
[21]Muhammad Ali as-Shobuni. ……. hal.
383. 
[22]Ibnu Katsir. ……… hal. 275 
[23]Lihat Tafsir Ibnu Katsir Jilid I,
hal. 452 
[24]Muhammad Ali as-Shobuni. ………. hal.
383. 
[25]Muhammad Ali as-Shobuni. ……….. hal.
384. 
[26]Jalalaini, Tafsir Al Qur’an AL
Karim, Jilid 1 hlm. 40. 
[27]Muhammad Hudri Bik. UshuL
Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr. 1988) hal.199. 
[28]Ibnu Hajar. Bulugh al-Maram.
(Semarang: Toha Putra) hal.169. 
[29]Muhammad Ali as-Shobuni. hal. 392. 
[30] M.A  Mannan. 
Ekonomi  Islam:  Teori  dan  Praktek. 
Alih  bahasa:  Potan  Arif Harahap ( Jakarta: PT
Intermasa. 1992) hal. 295-296.  
[31]Muhammad Syafi’I Antoni, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani. Cet. IV. 2009. hlm. 37
diambil dari Buku Islamic Bangking and Interest: A Study of The
Prohibition of Riba and its contemporary Interpretation (Leiden: EJ.
Brill, 1996) karya Abdullah Saeed. 
[32]Muhammad Syafii Antonio, Bank
Syariah: Wawasan Ulama dan Cendekiawan(Jakarta; Central Bank of Indonesia
and Tazkia Institute, 1999). 
[33]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an
: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung. Cet.
I. hlm. 544. 
Komentar
Posting Komentar