BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi ibnu sabil
Secara bahasa sabil memiliki arti lebih umum
daripada thariq, tharik adalah setiap jalan yang dapat di lalui baik dengan
cara yang mudah atau dengan cara yang sulit. Sedangkan sabil adalah jalan yang
dapat di lalui dengan mudah, atau dikataka juga sabil adalah jalan yang terang
atau yang bisa di buat jalan oleh orang.[1]
Secara istilah adalah seorang musafir yang
kehilangan harta dalam perjalananya, atau habis perbekalan sehingga ia menjadi
orang yang sangat membutuhkan. Meskipun di rumahnya ia memiliki harta yang
banyak namun, ia tidak dapat mengambilnya karena jauhnya jarak antara dia
dengan rumahnya dan tidak adanya wasilah yang dapat di gunakan untuk mengambilnya.
Sedangkan menurut Al kisani Ibnu Sabil adalah
orang asing yang terputus dari hartanya meskipun ia adalah orang yang kaya di
negrinya, ia di diberikan zakat karena saat sekarang ini ia adalah orang yang
fakir.
Oleh karena itu maka  perbedaan antara
ibnu sabil dengan orang yang fakir sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abidin
adalah; Ibnu sabil tidak boleh menggambil harta yang lebih banyak dari
kebutuhanya, sedangkan fakir diperbolehkan untuk mengambil harta yang melebihi
kebutuhanya.
Para ahli ilmu mereka banyak menyebutkan
bahwa diantara pengertian Ibnu sabil yang tidak dapat di terima adalah:
1.            
Definisi
Asy Syirazi yang dinukil oleh Al Mawardi bahwa ibnu sabil adalah mereka
pengemis yang meminta-minta kepada manusia, Al mawardi menambahkan bahwa ibnu
sabil adalah seorang musafir yang kehabisan bekal.
Pendapat
ini tidak benar secara mutlak, karena seorang musafir yang kehabisan atau
kehilangan bekal ia termasuk ibnu sabil apabila ia meminta untuk memenuhi
kebutuhanya. Akan tetapi, tidaklah dikatakan sebagai Ibnu sabil manakala
seorang meminta-minta di daerahnya untuk memenuhi kebutuhanya. Ia bukan ibnu
sabil melainkan fakir yang harus di beri karena kefakiranya.
2.     
Pendapat
yang di kemukakan Ibnu Abdil Barr dari Imam Malik bahwa Ibnu sabil hanya terbatas
bagi mereka yang berperang. Pendapat inilah yang masyhur di madzhabnya.
Akan
tetapi setelah di rujuk ke kitab-kitab Madzbah Malikiyah maka di dapatkan bahwa
yang di kenal dalam Madzhabnya bahwa Ibnu sabil adalah orang yang kehabisan
bekal di negri / daerah orang lain. Di lain kesempatan bahwa ibnu sabil adalah
seorang musafir dalam rangka ketaatan kepada Allah.
B.    
Ibnu
sabil menurut para ulama
1.   Ibnu sabil dalam Al–Qur’an
Al–Qur’an  telah  menerangkan  lafaz  (Ibnu
 sabil)
 ini  sebanyak delapan kali yang menunjukkan kasih sayang dan berbuat baik kepadanya. Allah berfirman dalam surat al–Isra’: “Dan  
berikanlah   kepada   keluarga–keluarga   yang 
 dekat 
 akan haknya,  kepada
 orang
 miskin
 dan orang 
yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur–hamburkan (hartamu) secara boros.” (Al–Isra: 26). [2]
Dalam surah Ar-rum ayat 38 “ Maka  berikanlah  kepada
 kerabat  yang  terdekat  akan
 haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang–orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih
baik bagi orang–orang yang mencari keridlaan  Allah;  dan
 mereka  itulah
 yang
 beruntung.”  (Ar–Rum:38)
Dan memberikannya  bagian dari baitul mal kaum muslimin yang
diambilkan dari seperlima ghanimah “Ketahuilah,  sesungguhnya
 apa  saja  yang  dapat  kamu  peroleh sebagai
 rampasan  perang,
 maka 
sesungguhnya
 seperlima
 untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak–anak yatim, orang–orang miskin dan ibnu sabil.” (Al–Anfal: 41)
2.     
Ibnu sabil menurut jumhur ulama
Jumhur Ulama berpendapat bahwa orang yang bermaksud
mengadakan perjalanan tidak termasuk ibnu sabil dengan dua alasan, yaitu pertama: lafaz sabil adalah berarti jalan. Ibnu sabil artinya orang yang tidak berpisah
dengan jalan. Dengan demikian bahwa orang yang
hanya
menginginkan untuk melakukan perjalanan tanpa
langsung melaksanakan perjalanan  tersebut,
 maka
 orang
 itu  tidak
 dapat
 dikatakan
 sebagai
 ibnu sabil karena orang yang tinggal di
negeri sendiri, tentunya tidak berada di jalan, sehingga tidak diberlakukan  hukum dalam
perjalanan (ibnu
sabil). Alasan yang kedua adalah yang dimaksud ibnu
sabil adalah orang asing, bukan orang yang ada di tanah airnya atau di rumahnya, walaupun sudah
selesai maksud dan tujuannya.
Imam Syafi’i  berpendapat
 bahwa ibnu
sabil adalah orang yang akan bepergian ke suatu
negeri yang bukan negerinya, sementara tidak ada orang yang membantunya.
Jadi orang yang bermaksud bepergian telah dianggap   ibnu   sabil,   sehingga   hukumnya   pun   diberlakukan   yaitu pemberian zakat pada orang yang akan melakukan perjalanan tetapi bukan untuk maksud maksiat
Sebagian ulama’ Syafi’i dan Maliki mensyaratkan 
bahwa orang yang dalam perjalanan itu tidak menemukan seseorang untuk memberi pinjaman  dan 
orang  tersebut  harus  mengembalikan  pinjaman
 tersebut
kalau  ia  mampu  atau  mempunyai   harta  di  negerinya. Sedangkan
menurut Imam
Qurtubi dalam tafsirnya bahwa orang tersebut berhak mendapatkan  bagian  zakat  walaupun
 ada orang  yang  akan
 memberikan pinjaman.
3.      Pendapat
ulama kontemporer
Yusuf Qardlawi setuju dengan pendapat jumhur dan
juga
setuju dengan   pendapat   Imam   Syafi’i   dengan   menambahkan   bahwa   orang
tersebut melakukan perjalanan untuk kemaslahatan umum. Beliau mempunyai  alasan  bahwa
 lafaz
 ibnu 
sabil  diatafkan  dengan  lafaz
 fi sabilillah sehingga seolah–olah 
Allah berfirman fi sabilillah dan fi ibnu sabil.  Sehingga  pada bagian
 sasaran
 zakat dengan
 kalimat  (fi) gunanya adalah untuk kemaslahatan.[3]
Dengan demikian mereka menerima bagian zakat,
disebabkan  karena ia mempunyai  sifat
yang berhubungan
 dengan kemaslahatan  umum, sehingga  tidak disyaratkan  adanya pemilikan  pada empat sasaran (memerdekakan 
budak, orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan). Masdar Farid masduki berpendapat bahwa pentasyarufan dana zakat
untuk sektor ibnu sabil dapat dialokasikan bukan saja untuk musafir tetapi
 juga
 untuk
 keperluan  para 
pengungsi  baik  karena
 alasan
 politik maupun alam atau lingkungan,  seperti: banjir, gunung meletus, dan lain
Sebagainya. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa ibnu sabil adalah orang yang   sedang 
 dalam 
 perantauan   atau  
perjalanan.   Kekurangan   atau kehabisan bekal untuk hidup, untuk pulang ke tempat asalnya. Yang termasuk  golongan
 ini adalah  pengungsi–pengungsi  yang 
meninggalkan
kampung  halamannya
 untuk
 menyelamatkan  
diri  atau  agamanya
 dari tindakan
 penguasa  yang sewenang–wenang.  Di sini beliau  juga memasukkan  pelajar  dan  mahasiswa  yang  memerlukan
 bantuan
 untuk
biaya   hidup   atau  pendidikan,   sekiranya   biaya   dari  orang 
 tua  tidak mencukupi/bahkan tidak diterima sama sekali.
Dari   pendapat–pendapat   yang   telah   diungkapkan   oleh   ulama
kontemporer maupun ulama salaf,arti ibnu sabil mengalami perubahan disebabkan oleh perbedaan tempat, siatuasi, dan
kondisi yang terjadi pada masing–masing ulama sehingga dengan demikian akan
menimbulkan perbedaan dalam berpendapat.
C.     Syarat
memberikan zakat kepada ibnu sabil
Untuk
 memberi
 ibnu
 sabil
 dari
 harta
 zakat  ada  syarat
 tertentu dimana sebagian disepakati dan sebagian lagi diperselisihkan.
a.   Hendaknya ia dalam keadaan membutuhkan pada sesuatu yang dapat menyampaikan
ke negerinya atau kampung halamannya.
b.   Hendaknya
 perjalannya  bukan  perjalanan  maksiat  yaitu  bepergian yang wajib, sunat, atau mubah.
c.   Orang  tersebut  tidak  menemukan  
seseorang  yang
 dapat
 memberi pinjaman untuk biaya pulang ke negerinya atau kampung halamannya.
Orang yang dalam keadaan bepergian, sekalian lama dia tinggal di daerah pembagian zakat
karena urusannya belum selesai, maka segala kebutuhan hidupnya dicukupi dari harta
zakat sampai dengan urusannya selesai.
D.    Bagian
ibnu sabil
Ibnu  sabil  mempunyai
 bagian
 yang
 diuangkapkan
 oleh
 Yusuf
Qardlowi, yaitu
a.      
Ibnu sabil berhak 
diberi biaya dan pakaian  hingga  mencukupi,
 atau berhasil
 sampai  pada  tempat
 hartanya.
b.      Persiapan
 untuk
 kendaraan,  apabila
 perjalannya
 jauh.
 
c.       Diberi semua biaya perjalanan dan tidak boleh lebih dari itu
d.     
Dia diberi dari harta zakat
e.       Dia diberi sesuatu yang mencukupi untuk pergi dan
pulang, apabila ia bermaksud pulang, sedangkan di
tempat yang dituju ia tidak memiliki harta
f.      
Apabila
 ibnu  sabil
 telah
 pulang
 ia
 mempunyai
 kelebihan
 sesuatu, apakah kelebihannya itu dikembalikan lagi atau tidak? Menurut ulama’ Mazhab Syafi’i harus dikembalikan, sama saja apakah ia
menghemat
untuk dirinya atau
tidak. Sedangkan menurut ulama’ Hanafi bahwa kelebihan
 harta yang telah diberikan  ibnu sabil tersebut  tidak harus disedekahkan walaupun ia telah mampu.
E.     Orang-orang
yang termasuk ibnu sabil
1.     
Orang
yang melaksanakan haji dan umrah, apabila mereka kehilangan harta atau
kehabisan nafkah atau tertimpa kesusahan yang menyebabkan hilangnya harta dan
kendaraan mereka, ataupun mereka yang sampai stres yang di sebabkan hilangnya
harta dan pihak keluarga tidak dapat di hubugi sehinga harus di obati.
2.     
Para
da’I yang kehabisan harta sehingg tidak mungkin  bagi mereka untuk
mendapatkan harta tersebut di rumah mereka, maka mereka di beri bagian sehingga
memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan dan dapat kembali kerumahnya.[4]
3.     
Pedagang
atau pemilik perusahaan, ketika ia sedang pergi ke sebuah darah tiba-tiba
hartanya hilang.  Dan tidak mungkin baginya untuk mengambil / mendapatkan
harta dari rumah, meskipun ia orang kaya dirumahnya.
4.     
tentara
yang kaya akan tetapi ia tidak mendapat kiriman dari rumah, orang ini lebih
utama diberikan bagian dari golongan fisabilillah.
5.     
Penuntut
ilmu dan pekerja yang menghendaki pulang kerumah akan tetapi tidak memiliki
uang untuk biaya, dan tidak ada kemungkinan akan datangnya kiriman dari rumah
6.     
Orang
kaya yang terusir dari rumahnya, dan tidak memiliki sertifikat sebidang 
tanah atau harta dari rumahnya.
Komentar
Posting Komentar